Beranda | Artikel
Kesamaan Antara Agama Syiah Dengan Tharikat Sufiyyah
Rabu, 11 September 2013

BEBERAPA KESAMAAN ANTARA AGAMA SYI’AH DENGAN THARIKAT SUFIYYAH

Siapapun yang mengetahui hakikat tasawwuf (Sufi) dan tasyayyu’ (Syi’ah), ia akan mendapatkan keduanya seperti pinang dibelah dua. Keduanya berasal dari sumber yang sama, dan memiliki tujuan yang sama. Oleh karena itu, kedua firqah ini memiliki kesamaan dalam pemikiran dan aqidah. Di antara persamaan dua golongan tersebut ialah sebagai berikut.

Pertama. Kaum Syi’ah mengaku memiliki ilmu khusus yang tidak dipunyai kaum muslimin selain mereka. Mereka menisbatkan kedustaan ini kepada Ahlul bait dengan seenak perutnya. Mereka juga mengklaim memiliki mushaf (Al-Qur`ân) tersendiri, yang mereka sebut Mushaf Fathimah. Menurut keyakinan mereka, mushaf ini memiliki kelebihan tiga kali lipat lebih bagus dibandingkan dengan Al-Qur`ân yang ada di tangan kaum muslimin.[1] Mereka menganggap Muhammad diutus dengan tanzil, sedangkan Ali diutus dengan takwil.[2]

Demikian pula orang-orang Sufi, mereka menganggap memiliki ilmu hakikat. Sedangkan orang dari luar kalangan mereka, hanya baru sampai pada tingkat ilmu syariat. Mereka beranggapan, bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’alamenganugerahkan ilmu laduni kepada mereka, saat orang-orang selain mereka mesti menimba ilmu dengan susah payah dari orang-orang para ulama. Bahkan salah seorang tokoh Sufi , yaitu al-Busthami sampai berkoar: “Kami telah menyelam di dalam lautan ilmu, dan para nabi berdiri di tepinya”.[3] Demikian, persamaan antara Sufi dan Syi’ah dalam masalah ilmu kebatinan.

Kedua. Orang-orang Syi’ah mengkultuskan imam-imam mereka dan menempatkan imam-imam itu dengan kedudukan yang lebih tinggi dari para malaikat dan para rasul. Mereka mengatakan, kami adalah katub pengaman bagi penduduk bumi sebagaimana bintang-bintang menjadi pengaman bagi penduduk langit. Apabila para imam diangkat dari muka bumi -walaupun sekejap- maka bumi dan para penduduknya ini akan hancur.[4]

Khumaini, salah seorang tokoh Syi’ah berkata: “Di antara keyakinan madzhab kami, bahwasanya imam-imam kami memiliki kedudukan yang tidak bisa diraih, sekalipun oleh para malaikat dan para rasul”.[5]

Bahkan orang-orang Syi’ah memberikan sifat ketuhanan kepada para imam itu, dan menganggap mereka mengetahui segala sesuatu, meski sekecil apapun di alam ini.

Sifat seperti ini pula yang disematkan orang-orang Sufi kepada orang-orang yang mereka anggap sebagai wali. Katanya, “para wali” itu ikut berperan dalam pengaturan alam semesta ini, dan mengetahui ilmu ghaib. Oleh karenanya, orang-orang Sufi membentuk suatu badan khusus yang terdiri dari para wali mereka. Tugas badan khusus ini adalah mengatur alam dan seisinya.

Hal ini dinyatakan oleh seorang tokoh Sufi, Ahmad bin Mubarak as-Saljamani al-Maghribi, dalam mensifati badan ini, ia berkata: “Aku mendengar Syaikh ‘Abdul ‘Aziz ad-Dabbâgh [6] mengatakan,’Badan khusus ini terdapat di Gua Hira yang dahulu dijadikan sebagai tempat berkhalwat oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum beliau diutus”.[7]

Dia juga beranggapan, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi badan khusus tersebut. Jika datang, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk di tempat orang yang membutuhkan pertolongan.[8] Kemudian, waktu pengaktifan badan tersebut, ialah saat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dilahirkan, karena –katanya- merupakan waktu yang mustajâbah[9] . Dengan pernyataan ini,maka tidak tersisa lagi hak pengaturan alam semesta bagi Allah Ta’ala. Padahal, hanya milik Allah Azza wa Jalla hak untuk mencipta dan mengatur segala urusan. Maha suci Allah dari apa yang mereka katakan.

Ketiga. Anggapan bahwa agama ini memuat perkara zhahir dan batin telah menjadi kesepakatan antara Syi’ah dan Sufiyyah. Menurut mereka, hal yang batin adalah suatu hakikat yang tidak diketahuinya kecuali oleh para imam dan para wali. Sedangkan yang zhahir ialah apa yang terdapat dalam masalah nash-nash yang dipahami oleh orang kebanyakan.

Dr Abu al-‘Ala’ al-‘Afifi menjelaskan dekade munculnya anggapan batil ini merasuki aqidah Islamiyyah dengan berkata: “Munculnya pembagian agama kepada syariat dan hakikat, ialah ketika ada pembagian agama menjadi zhahir dan batin. Pembagian seperti ini tidak dikenal oleh kaum muslimin generasi pertama. Pemikiran seperti ini muncul ketika Syi’ah mengatakan bahwa segala sesuatu ada yang zhahir dan batin, Al-Qur`ân ada yang zhahir dan yang batin. Bahkan menurut anggapan mereka, setiap ayat dan kalimat memuat pengertian zhahir dan yang batin. Dan hal-hal yang batin ini tidak ada yang bisa mengetahuinya kecuali orang-orang khusus dari para hamba Allah, yang khusus dipilih untuk memperoleh keutamaan ini. Sehingga semua rahasia-rahasia Al-Qur`ân akan terbuka untuk mereka. Oleh karena itu, mereka memiliki metode khusus dalam menafsirkan Al-Qur`ân yang akhirnya melahirkan berbagai takwil kebatinan terhadap nash-nash Al-Qur`ân dan bisikan-bisikan khayalan mereka, yang dikenal dengan istilah ilmu bathin. Menurut mereka, hasil penafsiran diwariskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Ali bin Abi Thâlib. Lantas diwariskan dari beliau kepada orang-orang yang memiliki ilmu batin yang menamakan diri dengan sebutan al-Waratsah (para ahli waris).

Demikian pula orang-orang Sufi, mereka menempuh jalan takwil ini dalam memahami Al-Qur`ân dan banyak mengambil istilah yang dipakai oleh orang-orang Syi’ah. Dengan demikian, kita mengetahui hubungan yang begitu erat antara orang Syi`ah dengan orang Sufiyyah”.[10]

Keempat. Pengagungan terhadap kuburan serta kunjungan-kunjungan ke makam-makam merupakan salah satu dasar akidah Syi’ah. Mereka itulah golongan pertama yang membangun makam-makam dan menjadikannya sebagai syiar.[11] Kemudian muncul orang-orang Sufi yang syiar terbesarnya ialah pengagungan terhadap kuburan, membangun dan menghiasinya, melakukan thawaf (mengelilinginya) untuk meminta berkah dan meminta pertolongan kepada penghuninya. Bahkan kuburan Ma’rûf al-Kurkhi -salah seorang tokoh Sufi dari kalangan mereka- dijadikan sebagai salah satu obat yang mujarab.[12]

Kelima. Pakaian Sufiyyah. Orang-orang Sufi beranggapan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memakaikan satu pakaian kepada ‘Ali kemudian ‘Ali memakaikan pakaian ini kepada al-Hasan al-Bashri. Dan katanya, dari beliau inilah orang-orang Sufi mengambilnya.[13]

Dr. Kâmil asy-Syaiby telah menulis sebuah kitab yang menjelaskan kuatnya hubungan antara Syi’ah dan Sufiyyah berdasarkan perjalanan sejarah. Kesesuaian antara Syi’ah dan Sufiyyah tidak terbatas pada masalah perkataan dan keyakinan saja, akan tetapi meluas kepada perbuatan sebagaimana ketika mereka bekerjasama dengan musuh untuk menghancurkan Daulah Islamiyyah yang syar’i dan membuka jalan agar musuh bisa masuk ke negeri kaum muslimin, khususnya pada masa kekhilafahan ‘Abbasiyyah, mereka berhasil merebut sebagian wilayah kaum muslimin, menyebarkan ajaran zindiq dan ilhad. Hingga akhirnya Shalahuddin al Ayyubi berhasil menumpas salah satu dari mereka, yaitu kelompok al-Abidiyyah al-Majusiyyah, dan mengembalikan Daulah Islam kepada kaum muslimin. Juga, ketika kaum muslimin berusaha untuk membersihkan Daulah Islam dari para salibis, ternyata orang-orang Syi’ah Rafidhah, seperti an-Anashir ath-Thusi dan Ibnul-Alqami justru membantu tentara Mongol untuk masuk ke ibukota Daulah Islamiyyah, Baghdad, dan melakukan perusakan serta pembantaian terhadap kaum muslimin.

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Musuh-musuh Islam berhasil masuk Baghdad lantaran bantuan dari kaum munafiqin, seperti orang-orang Isma’iliyyah dan Nashiriyyah. Mereka berhasil menguasai negeri Islam, menjadikan para wanita sebagai tawanan, merampas harta, menumpahkan darah. Apa yang dialami oleh kaum muslimin ini, ialah karena bantuan yang diberikan mereka kepada musuh-musuh Islam sehingga terjadi kerusakan, yang Allah Maha Mengetahui besarnya kerusakan tersebut.”[14]

Demikian pula yang dilakukan orang-orang Sufiyyah, mereka banyak membantu musuh-musuh Islam untuk merebut negeri Islam dari tangan kaum muslimin. Sebagai contoh, yaitu ketika mereka membantu tentara Perancis saat merebut kota Qairawan. Demikin pula campur tangan mereka, sehingga tentara Perancis bisa menginjakkan kakinya di al-Jazair. Bahkan salah seorang tokoh mereka, Ahmad at-Tijani berkata: “Sesungguhnya wajib bagi kami untuk membantu tentara Perancis, baik secara materi maupun politik”. Dan banyak peristiwa-peristiwa lainnya yang sangat merugikan kaum muslimin, dan ternyata banyak mendapatkan dukungan, baik dari orang Syi’ah maupun orang-orang Sufiyyah.

Demikian, sebagian titik persamaan antara Syi’ah dan Tharikat Sufiyyah. Sehingga jelaslah bagi kita, bahwasanya mereka berasal dari sumber yang satu. Untuk itu, wajib baik kita untuk mewaspadainya.

Wallahu a’lam.

(Diringkas dari: al-Jamâ’at al-Islâmiyyah fî Dhau`il Kitâbi was-Sunnah bi-Fahmi Salafil-Ummah, karya Syaikh Salîm bin ‘Id al-Hilâli, Dârul Atsariyyah, Tahun 1425H-2004M, halaman 115-127)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XII/1429/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/3715-beberapa-kesamaan-antara-agama-syiah-dengan-tharikat-sufiyyah.html